Peluang dan Tantangan Pengembangan Rantai Pasok Biomassa di Jawa Tengah

sabtu, 28 Agustus 2021 | 10:00 WIB
Sekretariat Perusahaan

Dalam rangka persiapan implementasi Cofiring Biomassa pada PLTU dan mengidentifikasi potensi implementasi Biomassa pada UMKM dan Rumah Tangga di Jawa Tengah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan Rapat Koordinasi dengan tema “Persiapan Implementasi dan Pengembangan Rantai Pasok Biomassa di Provinsi Jawa Tengah” secara virtual pada tanggal 26 Agustus 2021. Rapat Koordinasi ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, seperti Direktorat Jenderal Energi Baru dan Konservasi Energi (DJEBTKE), PT PLN, Perum Perhutani dan PT Energy Management Indonesia (PT EMI), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Tengah, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan pemangku kepentingan lainnya.

Sebagaimana tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia sebagai salah satu negara yang bergantung pada bahan bakar fosil, menargetkan pemanfaatan 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional tahun 2025. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai Net Zero Emission pada Tahun 2050. Melalui Kementerian ESDM, Pemerintah telah menyusun strategi pengembangan Bioenergi, antara lain:

  1. Meningkatkan kapasitas terpasangnya PLT Bioenergi
  2. Pemanfaatan biomassa
  3. Implementasi biofuels
  4. Pengembangan biogas berkelanjutan

“Pengembangan Cofiring Biomassa pada PLTU merupakan upaya untuk menghijaukan PLTU, guna meningkatkan porsi bauran EBT. Peran dari Pemerintah Daerah penting untuk mendukung penyediaan bahan baku agar dapat mencapai target penurunan emisi yang telah ditetapkan.” ujar Andriah Feby Misna selaku Direktur Bioenergi DJEBTKE, Kementerian ESDM. Beliau juga menegaskan bahwa masih terdapat banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan biomassa untuk Cofiring PLTU, antara lain pada aspek Regulasi, Standard Biomassa yang digunakan, Rantai Pasok, Harga, dan lainnya.

Kementerian ESDM telah melakukan berbagai upaya untuk menjawab tantangan tersebut, seperti dukungan regulasi untuk implementasi, penyusunan SNI bahan bakar biomassa, mendorong upaya penyediaan bahan bakar Biomassa dari berbagai sektor, dan upaya lainnya.

Untuk dapat mencapai sustainability pada program Cofiring PLTU, diperlukan peran aktif dari berbagai stakeholder terkait, seperti Pemerintah, Pelaku Usaha, Akademisi, Masyarakat dan Media yang saling terintegrasi dalam suatu ekosistem, atau disebut Ekosistem Pentaheliks EBTKE.

Disisi lain, Perum Perhutani, sebagai BUMN yang bergerak di bidang kehutanan turut berpartisipasi dalam penyediaan bahan baku untuk Cofiring PLTU. Dalam paparannya, Dadhut Sujanto selaku Kepala Divisi Regional Jawa Tengah Perum Perhutani, menyampaikan bahwa luas lahan produksi tanaman biomassa milik Perhutani di Jawa Tengah mencapai 8.771,07 Ha dengan potensi produksi 207.393 ton pada tahun 2019, selain itu juga terdapat rencana pengembangan tanaman biomassa mencapai 18.865,76 Ha hingga tahun 2028.

Pada kesempatan yang sama, PT PLN menyampaikan bahwa hingga saat ini beberapa PLTU di Jawa Tengah yang telah melakukan uji coba dan komersialisai Cofiring PLTU, antara lain PLTU Rembang, Adipala dan Tanjung Jati B. Dalam pemaparannya, Miftahul J, selaku General Manager PT PLN UID Jateng & DIY mengatakan bahwa proyeksi kebutuhan biomassa pada 2024 di Jateng mencapai 969.600 Ton dengan mixing 5% biomassa jenis sawdust dan wood pellet terhadap batubara. Kebutuhan biomassa yang besar menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi Cofiring PLTU. Selain itu, tantangan lainnya adalah Harga Patokan Tertinggi (HPT) biomassa yang lebih rendah dari harga batubara telah berdampak pada terbatasnya pilihan jenis biomassa yang dapat digunakan. “Keterlibatan UMKM dapat mendukung sustainability dari bahan baku biomassa untuk Cofiring PLTU, hal ini dinilai dapat mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan UMKM dan pemanfaatan waste to energy”, ujarnya.

Pentingnya keterlibatan UMKM dan masyarakat dalam pengembangan rantai pasok biomassa juga disampaikan oleh Antonius Aris Sudjatmiko, Direktur Operasional dan Pengembangan Usaha dari PT EMI. Beliau menjelaskan suatu konsep Circular Economy dalam Agro-forestry dari sisi upstream hingga demand, yang menunjukkan keterlibatan multiple stakeholder (Pemerintah, instansi terkait, UMKM, hingga masyarakat).

Bapak Antonius Aris Sudjatmiko (Direktur Operasional & Pengembangan usaha)

Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan salah satu rintisan yang telah dilakukan oleh PT EMI dan PT Gemilang Makmur Sejahtera sebagai mitra pada UMKM Pengeringan Gabah di Subang, Jawa Barat. “Dibandingkan dengan LPG, pemanfaatan wood pellet sebagai bahan bakar pada burner untuk pengeringan gabah dinilai dapat menghemat biaya bahan bakar mencapai 50%, dan mampu meningkatkan produktivitas hingga 38%”, ujarnya

Hasil yang didapatkan dari rintisan tersebut adalah, untuk mengeringkan 27 ton gabah dibutuhkan 20 tabung LPG 12 kg seharga Rp150.000,00/tabung, sehingga total biaya bahan bakar yang dikeluarkan mencapai Rp3.000.000,00 dengan lama proses pengeringan 72 jam. Sedangkan, proses pengeringan gabah menggunakan wood pellet membutuhkan bahan bakar sebanyak 500 kg dengan harga Rp2.500,00/kg, maka total biaya bahan bakar menjadi Rp1.250.000,00 dengan lama proses 44 jam.

Pemanfaatan biomassa perlu dimulai dari skala mikro, yaitu sektor UMKM dan Rumah Tangga agar dapat terbentuk rantai pasok biomassa yang berkelanjutan, sehingga mampu mendukung supply bahan baku untuk Cofiring PLTU.